
Menko Kumham Imipas Tegaskan Pembaharuan Hukum Harus Berakar pada Konstitusi dan Nilai Lokal
SURABAYA – Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa pembaharuan hukum di Indonesia harus berakar pada konstitusi, nilai-nilai lokal, dan mampu menjawab tantangan zaman. Hal tersebut disampaikan Yusril dalam pidato kuncinya di hadapan civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Selasa (15/10).
Dalam kuliah umum bertema “Kebijakan Pemerintah dalam Pembaharuan Hukum di Indonesia”, Yusril menjelaskan bahwa hukum bukan sekadar produk negara, melainkan ekosistem hidup yang tumbuh dari berbagai sumber — mulai dari negara, pengadilan, akademisi, profesi hukum, hingga masyarakat.
“Hukum itu tidak hanya state’s law yang lahir dari negara, tetapi juga judge-made law, lawyer’s law, professor’s law, dan people’s law. Semua berinteraksi dan membentuk sistem hukum kita,” ujar Yusril.
Ia menekankan bahwa pembaharuan hukum tidak bisa bergantung pada perundang-undangan semata. Banyak inovasi hukum yang lahir dari tafsir pengadilan, praktik profesi, maupun gerakan sosial masyarakat. Fenomena ini disebut Yusril sebagai bagian dari dinamika yudikalisasi politik, di mana lembaga peradilan tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi juga berperan menjaga batas konstitusi dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Menurut Yusril, pembaharuan hukum bisa lahir dari berbagai arah: reformasi undang-undang oleh negara, tafsir progresif hakim, advokasi masyarakat sipil, maupun gagasan akademik. Ia juga menegaskan bahwa pemerintah berperan mengorkestrasi semua sumber hukum — barat, Islam, dan adat — agar dapat bersinergi tanpa saling menegasikan.
“Tugas pemerintah bukan memilih salah satu sumber hukum, melainkan mengharmonisasikan semuanya agar hukum nasional kita hidup, bernafas, dan berpihak pada keadilan,” jelasnya.
Dalam pidatonya, Yusril menyoroti berbagai praktik pembaharuan hukum di negara lain yang bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia. Dari Jerman, ia mencontohkan pentingnya constitutional review yang kuat; dari Prancis, semangat recodification dan digitalisasi hukum; dari Inggris, keseimbangan antara legislasi dan yurisprudensi; dari Afrika Selatan, pengakuan terhadap living law dengan pagar HAM; serta dari Rwanda, praktik keadilan restoratif berbasis komunitas.
Dari pengalaman internasional tersebut, Yusril merumuskan enam pelajaran penting bagi Indonesia: perlunya rancang bangun konstitusional yang kokoh, kodifikasi yang dinamis dan adaptif, desentralisasi yang seimbang, perlindungan terhadap living law yang berlandaskan HAM, peningkatan kapasitas aparat hukum, dan penerapan keadilan restoratif yang terukur.
Dalam konteks nasional, Yusril juga menyoroti berbagai agenda strategis pembaharuan hukum yang tengah berjalan, di antaranya: penyesuaian hukum acara dengan era digital, penataan regulasi agar lebih ramping dan efisien, penguatan tata kelola data dan kecerdasan buatan yang beretika, pengakuan substantif terhadap masyarakat hukum adat, serta reformasi pendidikan hukum agar lebih literat terhadap teknologi.
“Reformasi hukum bukan hanya mengganti pasal, tetapi juga mengubah cara berpikir, cara bekerja, dan cara menegakkan keadilan,” kata Yusril.
Menutup pidatonya, Menko Yusril mengingatkan bahwa pembaharuan hukum adalah proses panjang yang memerlukan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat.
“Hukum Indonesia harus berakar pada konstitusi dan kearifan lokal, bertumbuh melalui ilmu dan teknologi, serta berbuah dalam bentuk kepastian, keadilan, dan kemaslahatan bagi rakyat,” pungkasnya.
Kakanwil Kementerian Hukum Jatim, Haris Sukamto yang mendampingi Menko Yusril menyatakan bahwa pihaknya siap mengawal proses transformasi dan reformasi hukum yang sedang berjalan.
#KementerianHukum
#LayananHukumMakinMudah
#AksiNyataSejahtera
#KerjaTerlaksana
















