
Evaluasi Produk Hukum Terkait Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak
SURABAYA – Kantor Wilayah Kementerian Hukum Jawa Timur bersama Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menggelar Focus Group Discussion (FGD) Analisis dan Evaluasi Hukum terkait Tindak Pidana Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak dalam Memperkuat Pembangunan SDM, Kesetaraan Gender, serta Peran Perempuan (Asta Cita Ke-4), Selasa (21/10), di Aula Raden Wijaya Kanwil Kemenkum Jatim.
Kegiatan yang berlangsung secara hybrid ini dibuka langsung oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Jawa Timur Haris Sukamto, dan dihadiri oleh Marciana Dominika Jone, Penyuluh Hukum Ahli Utama BPHN, Titik Setiawati (Kadiv Peraturan Perundang-undangan dan Pembinaan Hukum), Raden Fadjar Widjanarko (Kadiv Pelayanan Hukum), serta Ketua Tim Kerja BPHN Widya Oesman. Hadir pula narasumber dari kalangan akademisi dan aparat penegak hukum, yakni Amira Paripurna, Ph.D. dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, dan Damang Anubowo, S.E., S.H., M.H. dari Kejaksaan Negeri Surabaya.
Dalam sambutannya, Haris Sukamto menegaskan bahwa kegiatan ini memiliki nilai strategis karena menjadi bagian dari pelaksanaan Asta Cita Ke-4 Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang berfokus pada penguatan pembangunan sumber daya manusia, kesetaraan gender, serta peran perempuan menuju Indonesia Emas 2045.
Ia menyoroti tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Berdasarkan data Simfoni PPA, tercatat 14.039 kasus hingga Juli 2025, sementara survei nasional menunjukkan 1 dari 5 perempuan dan 1 dari 2 anak pernah mengalami kekerasan.
“Angka-angka ini bukan sekadar statistik, tetapi cerminan nyata bahwa masih banyak perempuan dan anak yang belum sepenuhnya mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945,” ujarnya.
Haris menambahkan, pentingnya analisis dan evaluasi hukum dilakukan untuk menilai efektivitas peraturan perundang-undangan serta mengidentifikasi celah implementasi agar perlindungan hukum bagi kelompok rentan dapat lebih komprehensif.
ementara itu, Marciana Dominika Jone selaku Ketua Rombongan BPHN menyampaikan sejumlah isu krusial yang menjadi hasil awal analisis tim. Di antaranya masih maraknya penyelesaian perkara kekerasan di luar pengadilan, yang melanggar Pasal 23 UU TPKS dan berpotensi mencederai keadilan bagi korban. Selain itu, pemenuhan hak korban melalui restitusi dinilai belum optimal karena rumitnya prosedur, ketidakjelasan sumber dana, dan minimnya fokus aparat penegak hukum pada penyitaan aset pelaku.
“Perlindungan anak oleh UPTD PPA juga belum maksimal akibat keterbatasan sumber daya manusia, psikolog, dan pendamping hukum di daerah,” ujar Marciana. 
Ia menambahkan bahwa berdasarkan SIMFONI PPA, dari 1 Januari hingga 16 Oktober 2025 tercatat 25.194 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia, dengan Jawa Timur menempati posisi kedua tertinggi sebanyak 2.113 kasus setelah Jawa Barat.
Marciana menegaskan, kegiatan ini merupakan bagian dari review nasional terhadap peraturan perundang-undangan sesuai arahan Presiden, untuk memastikan bahwa hukum tetap menjadi solusi bagi perlindungan perempuan dan anak. “Lex Semper Dabit Remedium — hukum harus selalu memberikan obat dan solusi,” ujarnya menegaskan.
Kegiatan FGD berjalan lancar dan menghasilkan sejumlah rekomendasi awal yang akan dirumuskan lebih lanjut oleh Tim Kerja BPHN sebagai bahan penyusunan kebijakan hukum nasional berperspektif gender dan berpihak pada korban.
Melalui kegiatan ini, terjalin sinergi antara BPHN, Kanwil Kemenkum Jatim, aparat penegak hukum, akademisi, dan lembaga masyarakat dalam memperkuat sistem hukum yang lebih responsif dan berkeadilan. Selain itu, forum ini juga meningkatkan kesadaran hukum di kalangan peserta tentang pentingnya penerapan perspektif gender dalam sistem hukum nasional.
#KementerianHukum
#LayananHukumMakinMudah
#AksiNyataSejahtera
#KerjaTerlaksana
















